Disclaimer : Diciptakan karena penulisnya sedang depresi, lol. Jadinya maaf kalau one-shot ini terasa seperti curhat :|
Suatu ketika, suatu ketika, suatu ketika...
Pengawalan yang membosankan? Mari kita... berimajinasi sedikit.
...
Apa yang terjadi jika seseorang mampu mewujudkan isi pikirannya menjadi kenyataan?
Kekuatan itu, jika ditangan orang jahat, pasti akan buruk hasilnya.
Jika ditangan orang baik, apa berarti terorisme, KKN dan sebagainya bisa hilang?
Dan bagaimana, jika ditangan orang yang sedang depresi?
Beruntunglah, kekuatan ini diberikan oleh sebuah roh yang baik. Meskipun sendirinya tidak bertubuh, roh ini bisa sewaktu-waktu pindah tempat dari tubuh satu manusia ke manusia yang lain. Oleh karena itu, jika dia merasa 'majikan'nya tidak cocok, dia bisa cabut dari tubuh 'majikan' itu, dan mencari orang lain yang mungkin sanggup mengendalikan kekuatan itu.
Untuk bertahun-tahun, tidak pernah ada tubuh yang benar-benar dihuni oleh roh itu. Karena kebanyakan manusia, jika diberikan kekuatan kemungkinan besar akan melenceng ke jalan yang salah. Hal itu sudah terbukti secara berulang-ulang. Mulai dari politikus, jenderal, bahkan sampai seorang kepala negara sekalipun.
Sampai akhirnya, ada satu manusia yang sedang mengalami depresi, dan kebetulan sekali, roh yang mencari temannya kemana-mana itu berpikir, mungkin ia bisa mencari seorang teman dalam diri orang itu.
"Kamu butuh bantuan?" Sebuah getaran suara muncul dari dalam dunia pikiran sang laki-laki berumur 15 tahun yang depresi itu. Dia mulai mencari-cari asal suara itu, sebelum akhirnya menyadari bahwa suara itu muncul dari dalam pikirannya sendiri.
"Siapa itu?" Laki-laki itu bertanya balik, seiring dengan kepalanya, rambut hitamnya yang panjangnya 1 cm sebelum alis itu ikut bergeleng kesana kemari. Ekspresi wajahnya mulai pucat, dia berpikir bahwa mungkin dia sudah di alam yang berbeda. Tapi, ada sedikit senyuman yang muncul, entah mengapa.
"Aku... Aurora. wujudku sebenarnya terserah kamu, tapi saya bisa hargai jika kamu berikan wujud yang nyaman."
"Hahaha, tenang saja, bukan NSFW kok. Sepertinya tidak sopan jika saya tidak memberitahu nama saya sendiri. Saya Shinji, Shinji Nakayama Senang sekali bisa bertemu anda.
Jadinya, mengapa anda datang kesini?"
"Mudah sekali, karena kamu butuh bantuan."
"Perfecto!" Shinji menggesekkan jempolnya dengan jari sebelahnya, menandai bahwa jawaban lawan bicaranya benar.
"Saya hanya ingin satu hal, yaitu teman bicara yang tidak akan mengkhianati. Lihat saja orang-orang sekolah, mungkin mereka memberikan senyuman manis di depan anda. Tapi di Facebook atau Twitter atau Google Plus atau entah apalah, mereka curhat panjang lebar tentang mengapa mereka yang paling benar sendiri.
Lucu, tau, lihat orang-orang dungu mencemarkan nama baik mereka sendiri. Mereka ga tau mereka ngapain sebenarnya. Iseng? Tunggu saja saya gebukin dan saya bilang itu iseng. Awas ngadu ke guru tata tertib nanti." Shinji menjelaskan panjang lebar pengalaman hidupnya di sekolah sehari-hari dalam 2 paragraf pembicaraan. Semakin lama nadanya semakin menderu.
"Parah sekali... saya kaget." Aurora hanya bisa melongo mendengarkan curhat dia. "Tapi, kalau kamu gebuk mereka, berarti kamu juga sama kan?"
"Bingo! Saya mungkin punya kepalan tangan yang kuat setelah lama bermain game-game Rhythm, tapi saya jarang sekali menggunakannya. Bagi saya , kekuatan itu ada hanya untuk menakuti, bukan untuk digunakan dalam praktisnya."
Setelah itu, ia mengibaratkan ucapannya sendiri. Ia mengambil sebuah 'pedang' kayu yang diambil dari kursi kayu yang 1 potongannya sudah copot. Ia mengayungkan pedangnya dengan kedua tangan dia. Serangan itu hanya mengenai angin yang lalu lalang.
Tapi itulah pengibaratan dia. Kekuatan hanyalah angin yang memberikan jalan kepada manusia. Bukan digunakan untuk melawan. Aurora mengangguk dan memberi tepuk tangan.
"Kekuatan... hanya untuk menakuti... Sesuai dengan katamu sendiri, Perfecto! Kamu tipe orang yang saya inginkan." Warna matanya tiba-tiba berubah. Seperti Shinji, ternyata ia pun juga bisa bertampang sinis.
"Ingin... untuk apa?" Shinji penasaran, tapi meskipun matanya bertatapan dengan Aurora, dia tidak menunjukkan rasa takut. Hanya ada angin segar setelah curhatan yang keluar dari dirinya.
"Jadi teman. Simple?"
"Simpel sekali. Itu bukannya permintaan saya juga, kalau tidak salah? Dan, agak aneh jika anda menggunakan tatapan itu untuk sebuah permintaan yang sangat anda, hahaha. Kalau begitu, Deal? Or no deal?"
"Deal!" Setelah Aurora menjawab, Shinji mencari galleri HP nya dan memutar ringtone Deal or No Deal. Keduanya tersenayam-senyum, nyaris ingin ketawa-ketawa. Sepertinya mereka kedua sedang terlalu senang saat ini. Rasa depresi yang menghantui Shinji sampai sekitar 5 menit semuanya sudah hilang.
"Kalau begitu, saya tidur dulu. Dan by the way, jika saya ke toilet, mohon jangan ikuti. Kita beda gender."
"...Dan emangnya saya seorang perv?"
Keesokan harinya... meskipun matahari telah 2 jam setelah terbit, dengkuran Shinji masih terdengar. Aurora mencoba untuk membangunkan dia, tapi tak ayal. Akhirnya pada jam 8 pagi, barulah dengkuran itu berhenti.
"Halo? Kamu tidak telat sekolah?" Aurora melambaikan tangannya seperti wiper di depan wajahnya Shinji.
"Ini Sabtu, mbak. Ke sekolah ngapain? Pintu ditutup."
"Mbak? Kurang ajar!" Aurora mengambil sebuah pensil dari meja yang masih dalam keadaan tergeletak di sebelah sebuah buku catatan yang masih terbuka lebar dan melemparkan ke arah Shinji. Sayang sekali, karena masih setengah bangun, ia tidak sempat menghindar dan pensil itu mengenai jidatnya.
"Aduh, sakit! Poltergeist, ya... Aurora, saya ingin minta tolong."
"Iya?"
"Ikuti petunjuk saya, dan lakukan sesuai dengan apa yang saya ajarkan. Di sekolah, jika saya bicara dengan anda, saya akan dianggap orang gila." Shinji mulai mencatat tanda-tanda jari di papan. Aurora menyimak dengan penuh perhatian. Tanpa perasa 1 jam telah berlalu. Dan tangan Shinji sudah lelah setelah mencatat banyaknya sinyal-sinyal tangan di papan.
Ia lalu membuka Facebook dia dan menggunakan opsi "Appear Offline". Dan dalam Top Stories, muncul status dari seseorang yang bernama "Watari Irata" yang isinya cukup provokatif.
"Liatin tuh si Shinji, di kelas cuman main game doang, CACAD"
"Liatin tuh tipe-tipe yang saya bilangin. Dan pasti juga orang-orang bakalan sok setuju soalnya Watari ini punya body nya. Sayang sekali jaman beginian orang masih dikendalikan kekuatan... Pagi-pagi dan saya sudah harus bad mood secepat ini. Aurora, kekuatan poltergeist anda seperti apa?"
"Aku hanya bisa melakukan trik ku jika saya bertatapan langsung dengan orangnya. Jika kita berjarak jauh seperti ini... tidak mungkin." Aurora lalu menghapus tulisan-tulisan yang baru ditulis Shinji dan mengambil spidol yang ada didekatnya. Lalu, ia menuliskan detail-detail yang perlu dijelaskan.
Di papan itu ia menjelaskan, kekuatan nya hanya bisa digunakan kepada orang-orang berjarak maksimal dalam pandangan matanya. Lebih jauh dari itu, percuma. Bukan hanya ilmu poltergeist, ia juga bisa mengendalikan pikiran orang-orang, alias "Mind Control".
"Kalau begitu, kita tunggu Senin depan. Sepertinya bakalan seru. Menunggu 2 hari, anda mau berbicara tentang apa? Saya bisa temani."
Waktu ternyata berlalu dengan sangat cepat. Pada hari Senin itu, Shinji yang baru selesai mandi langsung mengenakan pakaian nya tanpa lama. Yaitu, sebuah dasi berwarna coklat, seragam putih biasa dengan kancing 4 dan sebuah saku yang terletak di dekat dada. Dan terakhir, dilengkapi dengan celana panjang berwarna putih.
Kali ini, matanya benar-benar terbuka lebar seperti orang pede. Dengan kepala tegak dan tidak menunduk, ia menuju "Jisonshin Gakkou" dengan niat menjaga harga dirinya. Seperti namanya "Jishonshin" yang berarti "Harga diri/Pride".
Sesampai di sekolah, ia disapa oleh beberapa teman-temannya, seperti Misaki Mikazuki, Kenji Inabaki dan Rintarou Takenaka. Shinji (dan Aurora, tapi sayang, tidak terlihat orang lain) menyapa balik dan mereka bertiga masuk ke kelas bersama-sama sambil berbincang.
Seperti layaknya sebuah sekolah swasta, sekolah itu memiliki ruangan-ruangan ber AC, lengkap dengan ruangan TIK, biologi, kimia, fisika dan lain-lain. Bangunan 4 tingkat itu adalah tempat berkumpul bagi sekitar 1500 murid dan 40 guru.
Sementara, Shinji yang saat ini menduduki kelas 11-B harus menaiki 2 lantai, bergerak melalui korridor kiri, belok kanan sampai ke ujungnya sebelum membuka pintu kelasnya. Di kelas itu, ia mengambil posisi paling depan, di baris tengah dari 5 yang ada.
Sebelum bel berbunyi, diam-diam Shinji memperagakan isyarat-isyarat yang ia ajarkan kepada Aurora. Mengingat apa yang ia katakan Sabtu lalu...
"Jempol diangkat tegak, berarti kerjaanmu bagus.
Jempol ditekuk kiri-kanan, berarti nguping gosip orang lain.
Jari telunjuk menunjuk siapapun, berarti bantu orang itu.
Jari tengah menunjuk siapapun, berikan dia pelajaran.
Jari kelingking, berarti balik.
Ya, saya tidak pakai jari yang sebelum kelingking, karena mungkin terlalu banyak isyarat bisa agak susah. Iya, belum selesai disini, setelah ini kita akan mencoba isyarat yang lebih kompleks. Mengerti sampai disini, Aurora?"
"Mengerti!"
Kembali ke masa kini, orang yang menulis status provokatif di Facebook itu, Watara Irata masuk ke kelas dengan raut wajah layaknya seorang preman. Keduanya saling bertatap mata dan memelototi satu sama lain sebelum Watari duduk di bangku sendiri, yaitu di baris ke 5 dan belakang.
"Pelajaran pertama, Rosa-sensei ya... Boleh dilewatkan, percuma mendengarkan penjelasan dia yang terlalu berbelit-belit." Gumam Shinji saat mengecek buku jam pelajarannya. Bel berbunyi pada jam 7 pagi, dan seorang guru perempuan berkacamata dan usianya sudah sekitar 40 tahun. Gairah dalam Rosa-sensei yang pernah Shinji lihat sekitar 7 tahun lalu, saat ia di SD dan waktu itu, diadakan acara pertukaran guru antara SD dan SMA selama 1 minggu, sepertinya sudah tiada.
"Selamat pagi anak-anak." Nada loyo yang keluar dari mulut Rosa-sensei pun dibalas dengan nada yang sama dari para murid. Beberapa sudah mulai menguap, bahkan. Sepertinya mereka kebanyakan nonton acara sepakbola hari kemarinnya?
Shinji menatap ke arah meja Watari. Sesuai dugaannya, Watari berbisik sesuatu dengan teman di belakangnya lagi. Tanpa lama, jempol Shinji bergerak kiri-kanan dan Aurora mengikuti signalnya. Sementara, Shinji sepertinya sama sekali tidak memerhatikan apa yang dijelaskan Rosa-sensei.
Setelah Watari berhenti menggosip, Shinji menggerakkan jari kelingkingnya. Dan Aurora memberitahukan apa yang dia dengar di belakang. Dalam sekejap, Shinji mengacungkan jari tengahnya ke arah Watari. Aurora lalu menyeret kursi yang Watari duduki. Tidak dapat mengendalikan keseimbangannya, ia terjatuh dari kursi.
"Aduh! Kenapa kursinya?" Ucapan dia dibalas dengan tawa murid-murid yang lain. Rosa-sensei pun mencoba menenangkan murid-murid, tapi tidak ada hasil. Sementara itu, hanya ada 1 orang yang tidak menunjukkan reaksi dan lanjut biasa-biasa saja, yaitu Shinji. Melihat Shinji yang pandangannya tidak terlena kesitu, Misaki, teman dekatnya yang duduk di belakang dia, heran.
Makin heran lagi, saat ia memerhatikan gerak-gerak jari Shinji. Tanpa sebab yang jelas, minimal dilihat dari pandangan orang lain, Shinji mengacungkan jempolnya tegak. Apa gerangan yang sedang terjadi?
Pola yang sama terjadi hingga 2 kali lagi, hanya saja modusnya agak berbeda dari waktu ke waktu. Kedua, ia mencolokkan pena Watari ke mukanya sendiri. Ketiga kalinya, saat Watari mencari pena dia yang kebetulan sedang terjatuh ke bawah kolong, Aurora menjatuhkan tas dia yang masih terbuka lebar, sehingga buku-bukunya berserakan, menyakiti dia dengan ujung-ujung sampulnya yang tajam dan merepotkan dia.
Saat semua pelajaran sudah selesai, bel berbunyi dan jam istirahat dimulai, kegusaran yang terdapat dalam Watari tidak dapat disembunyikan. Mencari seseorang untuk ditinju, ia mencengkeram kerah baju Shinji, perbedaan kekuatan antara yang kekar dan yang kurus terasa sangat jelas...
"Shinjiii!!! Ini ulahmu, ya??!!" Ancam Watari.
"Sebaiknya anda tidak menyalahkan orang yang salah (Benar, sih)." Shinji menjawab dengan tenang. Saat Watari tidak melihat, ia mengacungkan jempol tengahnya lagi. Dan dalam sekejap, Aurora terpanggil lagi.
"Ethereal Sword - Frying Pan! Hit!" Mengeluarkan sebuah panci memasak yang tidak bisa dilihat mata biasa dari alam kekosongan, ia memukul kepala Watari dari belakang sekencang mungkin dengan 'senjata'nya. Watari pingsan, dan Shinji segera keluar kelas. Lagi, Misaki memerhatikan ia mengangkat jempolnya lagi.
Perempuan muda, imut dan berambut hitam kecoklatan itu yang menurun secara lembut dan seperti sutra dengan bibir merah muda nan tipis itu mengikuti Shinji dan untuk mencari jejak misteri yang baru saja terjadi.
Di lapangan terbuka, saat tidak ada orang, ia kepergok tertawa sendiri, tanpa alasan yang jelas. Aneh untuk seorang pendiam seperti dia tiba-tiba bisa tertawa seperti ini. Yang jelas, ada sesuatu yang sedang terjadi hari ini. Misaki lalu menghampiri Shinji. Dan sebelum ia sadari, ternyata ia juga diikuti Rintarou dan Kenji. Sepertinya mereka bertiga berpikir hal yang sama.
"Beritahu aku... apa yang sedang terjadi hari ini?" Ia bertanya.
"Saya yakin kalian bertiga heran dengan kejadian hari ini... Saya akan beritahu, jika kalian bisa jaga rahasia. Apa saya punya janji kalian dalam hal itu?"
"Baiklah. Kami tidak akan bocorkan." Ketiganya menjawab serentak tanpa berpikir sedetikpun.
"Kalau begitu, untuk dia, kita akan buat sebuah organisasi kecil-kecilan. Namanya, yaitu ESS, Ethereal Soul Searchers!"
"Yo!" Dan terbentuklah sebuah organisasi yang ditujukan untuk mencari tau masa lampau Aurora, yang sampai saat ini masih belum dibawa sama sekali. Ini Shinji lakukan, sebagai rasa terima kasihnya kepada apa yang telah Aurora lakukan. Dampaknya baik kepada apa yang terjadi hari ini, dan secara mental, ia membangkitkan semangat Shinji kembali.
Teman-temannya pun menyadari hal ini. Berjanji untuk menyembunyikan fakta yang dianggap mustahil, mereka pun segera menjadi teman Aurora, dan sekarang, mereka juga mampu melihat wujudnya. Seperti apa wujud Aurora? Hanya mereka ber 4 yang tau. Shinji ingin menyimpan buku itu sampai cerita ini selesai.
Lalu, apa kelanjutannya? Semua akan berakhir di Part 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar